17 November 2013

710

Kapan itu gue nemu segambreng buku Indonesia berformat epub di kaskus. Lumayan bikin jejingkrakan soalnya buku elektronik berbahasa Indonesia lumayan langka, dan kalo adapun lebih sering berbentuk pdf. Walopun ternyata jejingkrakannya ga terlalu lama karena ternyata koleksinya yah... semacam novel-novel populer masa kini, terjemahan, dan buku-buku motivasi (kurang lebih samalah sama kalo lo ke toko buku hari gini). Ada sih beberapa novel Ahmad Tohari dan terjemahan Mati Ketawa Cara Rusia. Tapi yang paling penting dari koleksi itu menurut gue adalah.... LUPUS!

Anak '90-an pasti taulah yang namanya Lupus, walopun Lupus taun '90-an menurut gue adalah Lupus gelombang ketiga, semacam waralaba-nya lah gitu: Lupus Kecil, Lulu, Lupus ABG, dan beberapa buku Lupus kejar setoran yang ceritanya rada maksa. Gelombang kedua adalah cerita-cerita Lupus pasca-Hai semacam Lupus Udah Gede (yang sepertinya bikin Hilman bingung karena ternyata Lupus-mahasiswa tidak selucu Lupus-SMA). Tapi menurut gue Lupus gelombang pertama, pertengahan '80-an dan sebagian besar juga dimuat di Hai, adalah Lupus paling keren, jujur, orisinal, yang membuat seorang Hilman Hariwijaya di mata gue layak dibilang jenius!

Kalo gak salah Hilman pernah bilang bahwa Lupus adalah antitesis dari sesama ikon '80-an, Si Boy. Kalo Mas Boy keren, tajir, sekolah di Amerika, mobilnya BMW, Lupus duitnya pas-pasan (kecuali kalo baru dapet honor dari Hai), sekolahnya di SMA Merah Putih, dan ke mana-mana naik bis kota. Lewat mata Lupus yang "biasa" ini, Hilman mengamati dan mengomentari kejadian sekelilingnya. Lupus, eh, Hilman adalah pengamat yang jeli dengan sudut pandang yang kadang tidak terduga. Dan yang penting: lucu.

Membaca ulang Lupus, gue sungguh takjub bahwa Jakarta pernah menjadi kota yang nyaman. Bisa buat sepedaan di jalan. Dan Lupus yang tinggal di Grogol bisa ngapel ke rumah Poppi di Cilandak naik bis kota (bis patas sih, biar rambut John Taylor-nya gak rusak).

Gue mengernyit ketika tau Lupus dibuat ulang sebagai film taun kemarin. Hilman memang jenius, tapi menurut gue Lupus itu kontekstual dan konteksnya adalah: Indonesia (Jakarta) '80-an dan mungkin '90-an. Liat aja judul-judul seperti: Tangkaplah Daku Kau Kujitak, Tragedi Sinemata, Interview with the Nyamuk. Apa anak sekarang yang bukan penggila film ngerti referensinya Tangkaplah Daku Kau Kujitak (ngomong-ngomong tadi gue nulisnya Kejarlah Daku Kau Kujitak :P). Maksudnya anak-anak yang beli buku ini lho.

Perkembangan teknologi di seperempat abad terakhir ini, gue yakin bahkan para penulis fiksi ilmiah terkeren di zamannya sekalipun tidak sepenuhnya kepikiran. Tapi lebih dari sekedar perangkat dan teknologi, ada pola pikir yang berubah dan percayalah, facebook dan twitter dan whatsapp tidak memegang peran sebesar itu. Ada runtuhnya Uni Sovyet, kematian Kurt Cobain, reformasi, 9/11, dan Al Gore yang membuat lo gak bisa mengambil seorang remaja taun '80-an, memberinya ponsel pintar, dan menaruhnya di taun 2012.

Biarin aja Lupus di taun '80-an kenapa sih? Dia baik-baik aja di situ, merekam dan mendokumentasikannya sebagai—meminjam tulisan Candra Aditya tadi—sebuah kapsul waktu. Dan bukankah memang demikian setiap karya besar pada zamannya?

Plus ilustrasinya Wedha ini juga cadas banget gak sih? #fangirl

6 komentar:

  1. Yup, cuma Lupus generasi pertama. Satu yg paling penting dr buku2 itu buat gw: ilustrasi keren mas Wedha, salah satu sumber utama gw dulu belajar nggambar :'). Dan yg paling jenius dr Hilman waktu itu jg: dia bisa bikin dg sama bagusnya n lucunya dr sisi cewek, Olga. Tapi ya, cuma di generasi pertama, waktu nama temen2 Lupus blm aneh2...

    BalasHapus
  2. Hehe waktu ngunggah ilustrasi ini gue inget lo ngefans sama Wedha. Dan transisi dari gelombang pertama ke kedua itu salah satu penandanya adalah ketika bliau ga jadi ilustrator lagi ya gak si?

    BalasHapus
  3. Gua tahun lalu baca lagi lupus yang pertama pisan, idih keren banget. Jago pisan Hilman yak. Trus tambah seru gara2 cerita si aji. Soalnya dia teh alumni SMA "Merah Putih" alias 16 jakarta. Jadi tambah lucu denger cerita guru2nya.

    Baca lupus jadi bikin inget masa2 muda jaman dulu bertukar puisi dan cerpen ama temen. Antara garing dan kangen.

    BalasHapus
  4. Iya gue teh ngerasa Hilman itu penulis keren yg salah mengidentifikasi di mana letak kekerenannya sendiri, jadi selling out tapi tragis. Eh, selling out emang selalu tragis ya :(

    BalasHapus
  5. eh emang ada yang bisa mengidentifikasi kekerenannya sendiri ya?

    BalasHapus
  6. Bisa lah Sal. Dari sekian ratus tulisan gw di blog ini, gw tau kok mana yg keren mana yang lasut. Kalo ternyata yg gue pikir keren itu ternyata gak keren dan sebaliknya, itu artinya gue "tidak bisa mengidentifikasi letak kekerenan gue sendiri". Tentu saja, bisa aja sebenarnya tulisan gue gak keren sama sekali. Tapi untuk Hilman, kita udah sepakat kan bahwa Lupus di awal2 itu keren

    BalasHapus